Minggu, 15 Februari 2009

Renungan

Kejujuran sebagai kontrol diri dalam segala aktifitas
Oleh: Jamaludin Sholihin

Seorang pengusaha sukses akan mencari seseorang yang dapat dipercayai untuk mengambil alih bisnisnya karena usianya yang semakin tua. Ia memutuskan untuk tidak menyerahkan perusahaannya kepada anak-anaknya maupun para direktur di perusahaan. Ia mau melakukan sesuatu yang berbeda.
Ia memanggil sebagian pegawainya di perusahaannya dan berkata, "Sudah tiba waktunya untuk saya mengundurkan diri dan memilih seorang pengganti dari antara kalian.". Para pegawai itu terkejut tapi bos mereka melanjutkan. "Saya akan memberikan setiap dari Anda satu benih hari ini - benih yang sangat spesial. Saya mau Anda menanam benih ini, menyiramnya dan datang kembali kepada saya satu tahun dari hari ini dengan membawa tumbuhan yang bertumbuh dari benih yang akan saya berikan ini. Saya akan menilai tumbuhan yang Anda bawakan, dan saya akan memilih orang yang akan menggantikan saya."
Salah seorang dari bawahannya, Jim juga termasuk yang diberikan benih dan sama seperti yang lainnya, ia pulang dan dengan penuh semangat memberitahu istrinya seluruh kisah itu. Istrinya membantunya mencari pot, tanah dan pupuk dan Jim menanam benih itu. Setiap hari tanpa gagal, ia akan menyiramnya dan memerhatikan apakah benihitu sudah bertumbuh. Setelah sekitar tiga minggu, teman-temannya yang lain mulai bercerita tentang benih-benih mereka yang sudah bertunas dan semakin membesar. Jim terus mengecek benihnya tetapi sama sekali tidak ada perubahan. Tiga minggu, empat minggu, lima minggu berlalu, tetapi masih saja tidak terjadi apa-apa. Setiap hari, teman-teman yang lain berbicara tentang perkembangan tanaman mereka, tetapi Jim tidak mempunyai sesuatu untuk dibicarakan. Ia merasa seperti seorang pecundang.
Enam bulan sudah berlalu dan masih tidak ada tanda-tanda kehidupan di pot. Jim tahu ia telah membunuh benih itu. Semua yang lain sudah mempunyai pohon dan tumbuh-tumbuhan yang besar, tetapi ia tidak mempunyai apa-apa. Jim tidak berkata apa-apa kepada teman-temannya. Tetapi ia tetap setia menyiram dan memberi pupuk kepada benih itu. Ia begitu menginginkan benih itu untuk bertumbuh.
Akhirnya satu tahun sudah berlalu dan semua pegawai perusahaan itu membawa tanaman mereka untuk diperlihatkan kepada bos mereka. Jim memberitahu istrinya bahwa ia tidak akan membawa potnya yang sama sekali tidak ada tanda kehidupan. Tetapi istrinya memintanya untuk bersikap jujur tentang apa yang telah terjadi. Jim tahu hari itu akan menjadi detik-detik yang paling memalukan dalam hidupnya, namun di sisi lain ia juga tahu bahwa apa yang dikatakan istrinya itu benar. Ia membawa potnya yang kosong dan masuk ke ruang rapat. Saat ia masuk ke ruangan ia begitu ditakjubkan melihat pelbagai tanaman yang dibawa oleh teman-temannya yang lain. Semuanya kelihatan begitu indah - dalam semua bentuk dan ukuran. Melihat potnya beberapa dari koleganya tertawa, dan beberapa mengasihaninya
ketika bosnya tiba, ia memandang ke seluruh ruangan dan menyapa semua pegawainya. Jim berusaha untuk menyembunyikan dirinya di belakang koleganya. sang bos tadi yang akan menyerahkan kepemimpinan perusahaannya. Memuji usaha para pegawainya dan mengatakan "Hari ini salah satu dari kalian akan dilantik menjadi ketua pimpinan perusahaan ini!"
Tiba-tiba sang bos melihat Jim di pojok ruangan bersama potnya yang kosong. Ia memerintahkan direktur keuangan untuk membawa Jim ke depan. Jim ketakutan. Ia membatin, "Bos pasti berpikir bahwa saya ini seorang pecundang! Mungkin ia akan memecat saya!" Saat sudah berada di depan, sang bos bertanya apa yang telah terjadi dengan benihnya. Jim dengan jujur menceritanya apa yang terjadi. Bos lalu meminta semua orang duduk kecuali Jim. Ia memandang pada Jim dan mengumumkan kepada semua orang, "Inilah Pemimpin Perusahaan kita yang baru!" Jim nyaris tidak percaya. Ia tidak berhasil membuat benih itu bertumbuh. Bagaimana mungkin ia dinobatkan menjadi pemimpin baru perusahaan itu!
Lalu sang bos berkata, "Satu tahun yang lalu, saya memberikan setiap dari Anda satu benih. Saya menyuruh Anda menanam benih itu dan membawanya kembali kepada saya hari ini. Tetapi saya telah memberi Anda semua benih-benih yang telah saya masukkan ke dalam air mendidih; benih-benih itu mati - sama sekali tidak mungkin untuknya bertumbuh. Semua dari Anda kecuali Jim membawakan saya pohon-pohon, tanam-tanaman dan bunga-bunga. Di saat Anda melihat bahwa benih itu tidak bertumbuh, Anda telah menggantinya dengan benih yang lain. Hanya Jim yang merupakan satu-satunya orang yang memiliki keberanian dan kejujuran untuk membawakan satu pot berisi benih yang saya berikan. Dengan demikian, ia lah orang yang akan saya tunjuk menjadi pemimpin perusahaan ini!"
Pesan moral yang dapat kita ambil dari cerita diatas adalah
Bahwa:
Jika kita menanamkan kejujuran, kita akan menuai kepercayaan.
Jikak kita menanam kebaikan, kita akan menuai sahabat-sahabat.
Jika Anda menanam kerendahan hati, Anda akan menuai kebesaran.
Jika Anda menanam ketekunan, Anda akan menuai kepuasan.
Jika Anda menanam pertimbangan, Anda akan menuai perspektif.
Jika Anda menanam kerja keras, Anda akan menuai kesuksesan.
Jika Anda menanam pengampunan, Anda akan menuai perdamaian.



Bekerja Keras dengan Ikhlas dan Cerdas
Oleh Jamaludin sholihin
Hidup di dunia hanya sekali. Karenanya, manusia harus menjadikannya hidup yang sekali itu bermakna di dunia dan bisa menjadi bekal di akhirat kelak. Hidup akan bermakna andai kita isi dengan kerja keras. Tanpa kerja keras tak mungkin kita sukses dan mampu mengemban amanat yang Allah bebankan kepada kita. Tidak ada kesuksesan dan kemuliaan bagi orang yang malas. Jangankan manusia, binatang pun harus bekerja keras untuk bisa eksis. Apa jadinya bila seekor singa malas berlari untuk memburu mangsanya, ia akan mati kelaparan. Apa jadinya pula bila seekor rusa malas berlari, tentu ia akan dimakan singa. Bahkan seekor nyamuk pun harus bertaruh nyawa untuk mendapatkan makanan. Betapa ranjau manusia siap menghancurkan tubuhnya ketika ia hendak menghisap darah. Cukupkah hanya dengan kerja keras? Ternyata tidak. Manusia tidak bisa mengandalkan otot dan fisiknya belaka. Ia harus memanfaatkan pula potensi pikirannya. Semakin cerdas dalam bekerja, maka akan maksimal pula hasil yang diraih. Rasulullah mengatakan bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati dan bekerja keras mempersiapkan bekal guna menghadapi kematian tersebut. Pesan Rasulullah di atas menggambarkan bahwa kerja keras kita harus dilandasi nilia-nilai moral. Tidak dikatakan cerdas seorang yang bekerja tapi curang ketika melakukannya. Tidak pula dikatakan cerdas bila seseorang bekerja tapi mengorbankan harga diri dan kemuliannya. Kerja keras dengan cerdas akan sempurna bila disertai keikhlasan. Dengan ikhlas, kerja akan semakin indah dijalani. Seorang yang ikhlas orientasinya tidak hanya sekadar duniawi, tapi juga menyentuh akhirat. Bila kita bekerja keras dengan otak cerdas dan dilandasi ikhlas, insya Allah banyak hal bisa kita raih. Tidak hanya materi, tapi juga amal kebaikan, ilmu, nama baik, dan saudara baru. Kerja yang hanya berorientasi dunia sangat rendah nilainya. Imam Ali mengatakan bahwa siapa yang bekerja karena perutnya belaka, maka derajatnya tidak jauh dari apa yang keluar dari perutnya tersebut.
Kehati-hatian dalam mengerjakan sesuatu dan kerja keras sangat perlu kita tanamkan. hal itu akan menentukan apa yang akan di tuai kemudian nanti. Bagi para siswa dalam mempersiapkan segala apa yang akan dikerjakan kedepan, perlu dengan kerja keras dengan mengedepankan kejujuran, juga keyakinan dan pengharapan besar. Barangkali dengan modal kerja keras dan keyakinan serta kejujuran yang dipaparkan di atas insya Allah akan menuai hasil yang maksimal dan menggembirakan. dan kita berharap semoga dalam menghadapi Ujian Akhir Nasional nanti yang tinggal beberapa hari lagi,para siswa-siswi kita mendapatkan nilai yang terbaik sesuai dengan harapan bapak-bapak guru kita dan para siswa-siswi kelas akhir pada umumnya amin ya rabbal 'alamin




Antara Sulitnya Ujian Dan Manisnya Buah Keshalihan
Oleh: Jamaludin Sholihin
“Andai tiada medan perjuangan terhadap nafsu, niscaya takkan terealisir pendakian para penempuh jalan menuju Allah.” Wasiat indah ini diucapkan oleh ibnu Athaillah dalam Al-Hikam. Sebuah prestaasi tak pernah diperoleh tanpa kerja keras. Begitu pun keshalihan takka hadir tanpa mujahadah atau kesungguhan melawan hawa nafsu. Keshalihan dan berbagai berkahnya dalam hidup takkan mungkin dimiliki. kecuali kepada orang-orang yang telah benyak berkorban dalam melakukan amal-amal shaleh.
inilah mental yang harus dipersiapkan. Kekuatan mental, kekokohan jiwa yanga akan membawa kedisiplinan dan ketegasan, mutlak diperlukan dalam meniti tangga menjadi shalih. Al-Qur`anul Karim menyinggung hal ini dalam firman Allah SWT,
    •   •      •               •    

artinya, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah (2): 214)
Lembar-lembar para shalihin bukan hanya rentang hidup yang penuh keberkahan. Bukan hanya perjalanan indah karena tak pernah lepas dari naungan dan pertolongan Allah. Keberkahan dan kemenangan mereka semua diperoleh setelah mereka bertumpuk-tumpuk pengorbanan. Itulah yang dituliskan dalam ayat diatas yang menyebutkan perkataan Rasul dan kaum beriman, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Lihat bagaimana catatan pengorbanan yang diberikan para sahabat dan salafusshalih. Ada Sumayyah seorang wanita yang menjadi syahidah pertama dalam perjuangan Islam. Ada Bilal yang disiksa karena keimanan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada Zaid bin Haritsah, Ja`far bin Abdul Muthalib, Abdullah bin Rawahah yang menjadi syuhada Uhud. Khabbab bin Arats disalib dan disiksa sampai menemui ajalnya oleh orang-orang musyrik. Mush`ab bin Umir menemui syahidnya dengan bermandikan darah di perang Uhud mereka telah memiliki cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk jalan Allah. Tangga keshalihan hanya bisa dinaiki dengan perjuangan dan usaha yang kuat. Setiap orang akan berhadapan dengan doronga hawa nafsu yang berwatak senang malas-malasan, santai, menganggur, larut dalam syahwat, meski didalamnya terdapat jurang yang dapat mematikan, Rasulullah SAW kerap mengingatkan kita akan godaan dan tipu daya syaithan yang ada dalam aliran darah manusia. Syetan menggoda dan memberatkan siapapun yang akan melakukan amal shalih. Bayangkan bagaimana ujian yang dialami Rasulullah SAW saat ia melakukan qiyamullail hingga kedua kakinya bengkak. Ali bin Abu Thalib RA berkata tentang sahabat-sahabat Rasulullah. Katanya, “Demi Allah, aku melihat Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut mereka kusut, berdebu dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud dan berdiri shalat membaca kitabullah, dan beristirahat diantara kaki mereka dengan kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angina. Mata mereka bercucuran dengan air mata hingga pakaian mereka basah.” Umar bin Khaththab RA bahkan memarahi dirinnya karena dia ketinggalan shalat Ashar berjama`ah, kemudian bersedekah dengan tanahnya yang harganya kira-kira dua ratus dirham. Sementara puteranya, Abdullah bin Umar RA yang ketinggalan shalat berjama`ah, menghidupkan malamnya dengan ibadah. Pernah suatu hari ia menunda shalat maghrib hingga dua bintang terbit. Kemudian karena itu ia memerdekakan dua budaknya. Sampai-sampai Ali RA mengatakan, “Semoga Alah, merahmati orang-orang yang dikira mansuia sakit.” Itu tidak lain adalah pengaruh mujahadah mereka terhadap rintangan yang harus mereka lalui dalam melakukan amal-amal shalih. Tapi ingat, semua amal shalih itu pasti ada imbalannya. Buah amal itu yang paling sederhana adalah sesuatu yang memberi kita rasa manis dalam melakukan amal ibadah yang rutin kita lakukan. Rasa berselera dan rajin beramal sehingga seseorang menjadi asyik dengan beribadah. Sayyid Quthb membahasakan kondisi ini dengan ungkapan, “Kenikmatan hidup di bawah naungan Al-Qur`an tak bisa dirasakan kecuali orang yang langsung menjalaninya. Ketika seseorang telah merasakan lezat dan manisnya beramal shalih, maka ia akan memperbanyak amal lahir mupun amalan bathin. Disanalah ia akan semakin merasakan kelezatan dan kemanisan.

Coba simak kenikmatan dan kelezatan ibadah yang telah dimiliki oleh sahabat Rasulullah SAW Abu Darda RA. Ia mengatakan, “Tanpa tiga hal, aku tidak tertarik untuk hidup, meskipun sehari saja. Yaitu, haus (puasa) untuk Allah disiang yang panas, sujud untuk-Nya di pertengahan malam, dan duduk dengan orang-orang yang memiliki ucapan-ucapan yang bagus, sebagqaimana buah-buahan yang bagus dipilih.”

Buah amal shalih, pasti ada. Namun keberadaanya bisa hadir ketika seseorang ada didunia. Atau, bisa saja disimpan untuk kebahagiaan diakhirat. Ibnu Athaillah rahimahullah mengatakan, “Perolehan buah ketaatan yang disegerakan adalah berita gembira bagi orang-orang yang beramal bahwa akan ada balasan ketaatan yang ditunda (di akhirat). Apa artinya? Berharaplah terhadap rahmat Allah atas amal shalih yang dilakukan. Namun hendaknya tidak dengan menentukan waktu kapan dan bagaimana bentuk rahmat itu diturunkan Allah SWT. Logikanya seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Athaillah selanjutnya, “Bagaimana mungkin engkau meminta upah atas suatu amal padahal sebenarnya Dialah yang menyedekahkan amal tersebut kepadamu. . Bagaimana pula engkau meminta balasan atas suatu keikhlasan padahal sesungguhnya Allah yang mempersembahkan keikhlasan itu padamu?”

Surban dalam Sunnah Rasulullah saw

Surban dalam Sunnah Rasulullah Saw


Pendahuluan
Setiap orang dalam mengamalkan sesuatu pekerjaan tentunya ingin melakukannya yang terbaik dan segala apa yang ia kerjakan ingin dapat bermanfaat, selain bermanfaat untuk orang lain atau masyarakat umum, paling tidak bermanfaat untuk diri sendiri. Dalam Agama Islam dalam melakukan sesuatu pekerjaan seseorang yang sudah mukallaf tentunya bersandarkan qur'an dan sunnah rasul, bagaimanapun juga kedua referensi itu menjadikan sebuah tolok ukur dan pedomann dalam melakukan suatu amalan. Salah satu contoh dalam hal amalan yang menyangkut masalah-masalah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dalam kata lain tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang biasa kita sebut sunnah rasulullah Saw. Sebagian masyakat muslim menilai bahwa semua amalan-amalan/kebiasaan/tradisi (sunnah) yang dilakukan Rasulullah Saw mewakili suatu keputusan hukum, dengan kata lain bagi yang mengikutinya mendapatkan pahala dan yang tidak mengikutinya berarti tidak mngikuti sunnah rasul (tidak dapat pahala). Padahal seyogyanya tidak seperti itu. Menurut penulis bahwa tidak semua Sunnah Rasul mewakili suatu keputusan hukum. Bisa jadi karena adat pada zaman itu atau kebiasaan yang biasa dilakukannnya, salah satu contoh tentang pemakaian Surban.




Pembahasan

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (رواه مسلم)
Dari Ja'far bin Umaar bin Huraits dari bapaknya bahwasanya Rosulullah SAW berkhutbah dan di atasnya mengenakan surban berwarna hitam (H.R. Muslim)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahwa pada waktu berpidato (khutbah), Nabi Saw juga memakai surban. Kesahihan hadis yang menerangkan bahwa Nabi Saw memakai surban secara umum tidak di persoalkan lagi.
Menurut para Ulama, hadis-hadis itu menunjukan bahwa memasuki makkah tanpa memakai pakaian ihram hukumnya boleh. Begitu juga memakai surban hitam hukumnya boleh,
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (رواه الترمذى)
Dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata: Nabi SAW memasuki kota Makkah pada hari fathu Makkah dan beliau di atasnya mengenakan surban berwarna hitam (H.R. Tirmidzi)
Baik ketika berkhutbah maupun di luar khutbah. Bahkan berpakaian berwarna hitam sekalipun juga boleh. Hanya saja, pakaian warna putih tetap afdhal karena ada hadis shahih yang menyebutkan demikian masih banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang memakai surban di antaranya yang penulis tulis adalah:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ (رواه الترمذى)

Dari Ibnu Umar berkata: ketika itu nabi Saw, jika memakai surban Ia menguraikan surbannya di antara dua pundaknya (H.R. Tirmidzi)

عَنْ جَابِرِ قاَلَ دَخَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفَتْحِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (رواه النسائى)

Dari Jabir bin Abdillah sesungguhnya Rasulullah SAW telah memasuki kota Makkah pada waktu fathu Makkah dan di atasnya mengenakan surban berwarna hitam (H.R. An Nasa'i)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ (رواه ابو داود)

Dari Anas bin Malik ia berkata: saya telah melihat Rasulullah SAW sedang berwudlu ia memakai surban Qatar Ia memasukan tangannya dibawah surban serta mendahulukan membasuh kepalanya dan tidak ketinggalan surbannya (H.R. Abu Daud)

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِمَامَةً حَرْقَانِيَّةً (رواه النسائي)

Dari Ja'far bin Amri bin huraus dari bapaknya ia berkata: saya telah melihat Rosulullah SAW mengenakan surban harqaniyyah ( H.R.an- Nasa'i)

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (ابن ماجه)

Dari Ja'far bin Amri bin huraus dari bapaknya ia berkata: saya telah melihat Rosulullah SAW berkhutbah di atas mimbar di atasnya beliau mengenakan surban berwarna hitam (H.R. Ibnu Majah)

عن اسامة بن عمير قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتموا تزدادوا حلما (رواه الطبرانى)

Dari Usamah bin Amir berkata: Rasulullah saw bersabda: bersurbanlah niscaya kamu akan menambah kebijaksanaan (H.R. At Tabrani)

عن اسامة بن عمير قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتموا تزدادوا حلما والعمائم تيجان العرب (رواه البيهقي)

Dari Usamah bin Amir berkata: Rasulullah saw bersabda: bersurbanlah niscaya kamu akan menambah kebijaksanaan dan surban itu adalah mahkota Arab (H.R. Al Baihaqi)
Berbicara masalah surban yang orang dalam pemakaiannya mengacu pada Nabi Saw, berarti kita tidak lepas bicara masalah hukum pemakaiaannya, yang mana hal ini telah berkembang di masyarakat. Yang menjadi permasalahannya adalah,
a. Apakah memakai surban merupakan suatu sunnah (aturan) Nabi Saw yang harus diikuti oleh semua umat Islam?
b. Atau mereka boleh memakai pakaian lain meskipun bukan surban, asalkan hal itu memenuhi ketentutan-ketentuan dalam berbusana secara Islami?
Dalam menyikapi hal di atas terdapat dua pemahaman, yaitu pemahaman secara tekstual dan kontekstual.
Bagi yang berfikir secara tekstual, apa yang berasal dari Nabi Saw harus diikuti. Artinya apabila Nabi memakai surban, maka ia juga harus memakai surban. Apabila ia tidak memakai surban, maka berarti ia (tidak mengikuti sunnah) aturan dan tatacara Nabi Saw.
Sedangkan yang berfikir secara kontekstual, mereka berpendapat bahwa surban itu pakaian dan budaya orang arab. Sementara pesan moral dibalik pemakaian surban yang dipakai Nabi Saw adalah kita diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat dengan syarat-syarat tertentu untuk itu, ditambah dengan pakaian tambahan sebagai hiasan kehormatan. Dan pakaian yang memenuhi kriteria ini tidak selamanya berbentuk surban. Ia cenderung berpariasi sesuai dengan adat dan budaya setempat. Maka peci atau kopiahpun sudah sesuai dengan pesan moral Nabi Saw dalam berpakaian, karena kopiah merupakan pakaian kehormatan untuk konteks daerah tertentu.
Namun di sini harus ada penegasan tentang pendapat bahwa sorban adalah pakaian dan budaya orang arab, masalahnya bila surban itu merupakaan pakaian dan budaya orang arab, khususnya orang arab pada masa Nabi Saw, tentunya orang-orang musyrikin arab juga berpakaian seperti itu.
Disamping itu ada hadis-hadis shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Saw mengajari para sahabat tentang cara-cara memakai surban sesuai petunjuk beliau. Misalnya, ketika Nabi Saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk berdakwah ke haibar, beliau memakaikan surban hitam di kepala Ali dan mengucirkannya ke belakang.
Dalam pemakaian surban pada masa sekarang ini terjadi inflasi. Di satu sisi para tokoh ulama sudah tidak mau lagi memakai surbanm di sisi laqin banyak orang yang dinilai belum berhak memakai surban, mereka ramai-ramai memakainya. Lebih-lebih apabila bulan Ramadhan tiba, para penyanyi, para badut, para penari, para pejoget, para penabuh gendang, para pemusik, dan lain sebagainya, semuanya ramai-ramai membungkus kepalanya dengan surban ketika mereka beraksi di depan penonton.
Tampaknya mereka ingin mengikuti sunnah Nabi Saw dalam memakai surban, atau hanya sebatas mode untuk menyesuaikan diri pada bulan ramadhan. Apabila memakai surban itu dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Saw, seyogyanya mengikuti sunnah itu tidak sepotong-potong. Memakai surban seyogyanya diikuti pula oleh sunnah-sunnah yang lain, misalnya berprilaku arif dan sebagainya.
Hendaknya tidak ada orang memakai surban, tetapi perilakunya tetap seperti preman dan bajingan. Betapa tidak, belakangan ini memang ada orang orang bersurban, jenggotnya panjang dan lebat, tetapi mereka membawa pentungan, memecah-mecah dan menghancurkan kaca-kaca dan sebagainya, hal ini bukan hanya menambah inflasi pemakaian surban, tetapi justeru memprihatinkan.
Dari beberapa penjelasan di atas penulis ambil kesimpulan dan berpendapat bahwa tdak ada perintah khusus dari Rosulullah tentang diharuskan memakai surban apalagi pernyataan bahwa memakai surban ketika sholat pahalanya sama dengan beramal kebajikan sepuluh ribu kali. sekalipun ada yang mengklaim tentang pemakaian surban adalah mengikuti sunnah rasul. Pada waktu itu orang musyrik juga mengenakan surban, jadi surban di sini sebagai adat atau kebiasaan pada waktu itu baik dilihat lingkungannya ataupun tradisi masyarakatnya. Kecuali dalam pemakaian surban tersebut untuk menghindari dari terurainya rambut kedahi ketika seseorang melakukan salat, maka pemakaian surban di sini merupakan sunnah (mendapat pahala). Dan itupun tidak mesti dengan menggunakan surban, pecipun boleh bahkan blangkon sekalipun, karena di samping adat juga melihat dari illat dalam pemakaian surban atau peci atau juga blangkon tersebut. Dan perlu diingat bahwa segala ungkapan Rasul tidak semuannya merupakan suatu perintah yang harus diikuti oleh ummatnya, dengan alasan bahwa perkataan Rasul atau amalan Rasul tidak semuanya dimaksudkan untuk menentukan sebagai ketetapan hukum. Seperti sebagian ulama fiqih katakan: Perbuatan Nabi Saw yang dilakukan sebagai kebiasaan yang biasa beliau lakukan, atau dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin Negara atau qadhi, dan bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah
Karenanya, bagi mereka yang tidak memakai surban, silakan mereka memakai, busana tradisional mereka asalkan hal itu memenuhi kriteria tutup aurat dan busana islami. Dan bagi mereka yang suka memakai surban, juga silakan saja mereka memakainya asalkan juga dibarengi dengan perilaku yang islami. Dan dengan catatan itu tadi, tidak punya anggapan bahwa kalau mereka pada waktu shalat akan memperoleh pahala sepuluh ribu kali lipat atau yang seperti itu, karena hadis-hadis untuk hal ini hadisnya palsu.









REFERENSI

Prof. KH. Ali Mustafa Ya'cub, Hadis-hadis bermasalah. Pustaka firdaus, Jakarta. 2003.
DR. Yususf Qaradhawi, Al-QUR'AN dan AS-SUNNAH, referensi tertinggi ummat Islam. Robbani Press, Jakarta 1997
Abu Dawud Sualiman bin al Asy'ats as sajistaniy, Sunan Abi Dawud, jilid I. Dar al Fikr Bairut Libanon. 1994
DR. Ibrahim Anas dan Teman-temannya, al-Jami' as Saghir, cet I, Bairut Libanon, 2002
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah. Al Jami as Shahih- Sunan at Tirmidzi, jilid II, Dar al Fikr. Bairut Libanon 1988
Syarh al hafidz Jalaluddin as Susyuthi dan hasyiyatu al imam as sanadi, Sunan an Nasa'I, jilid IV, Dar al Fikr, Bairut Libanon, 1348
Al Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al Quzaini, Sunan ibnu Majah jilid II, Dar al Fikr Bairut Libanon, tt.







Surban Dalam Sunnah Rasulullah Saw
(Kajian Hadis Tematik)









Oleh:
Jamaludin







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH (STAIDA)
JAKARTA
2007-2008
kesimpulan dari beberapa pernyataan dan hadis-hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak semua sunnah Rasul mewakili suatu keputusan hukum. Bisa jadi karena adat pada zaman itu atau kebiasaan yang biasa dilakukannnya. Dan perlu diingat bahwa segala ungkapan Rasul tidak semuannya merupakan suatu perintah yang harus diikuti oleh ummatnya, dengan alasan bahwa perkataan Rasul atau amalan Rasul tidak semuanya dimaksudkan untuk menentukan sebagai ketetapan hukum. Seperti sebagian ulama fiqih katakan: Perbuatan Nabi Saw yang dilakukan sebagai kebiasaan yang biasa beliau lakukan, atau dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin Negara atau qadhi, dan bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah (demikian Yusuf Qaradlawi mengatakan dalam bukumya, "al-qur'an dan as-sunnah, referensi tertinggi ummat Islam". Jadi dalam hal ini memakai surban atau tidak memakai surban dalam shalat bukan suatu keputusan hukum yang bagi memakainya akan mendapatkan pahala dan bagi yang tidak memakainya tidak mendapatkan pahala. Karena hal tersebut merupakan adat (kebiasaan pada zamannya) Allahu a'lam