Minggu, 15 Februari 2009

Surban dalam Sunnah Rasulullah saw

Surban dalam Sunnah Rasulullah Saw


Pendahuluan
Setiap orang dalam mengamalkan sesuatu pekerjaan tentunya ingin melakukannya yang terbaik dan segala apa yang ia kerjakan ingin dapat bermanfaat, selain bermanfaat untuk orang lain atau masyarakat umum, paling tidak bermanfaat untuk diri sendiri. Dalam Agama Islam dalam melakukan sesuatu pekerjaan seseorang yang sudah mukallaf tentunya bersandarkan qur'an dan sunnah rasul, bagaimanapun juga kedua referensi itu menjadikan sebuah tolok ukur dan pedomann dalam melakukan suatu amalan. Salah satu contoh dalam hal amalan yang menyangkut masalah-masalah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dalam kata lain tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang biasa kita sebut sunnah rasulullah Saw. Sebagian masyakat muslim menilai bahwa semua amalan-amalan/kebiasaan/tradisi (sunnah) yang dilakukan Rasulullah Saw mewakili suatu keputusan hukum, dengan kata lain bagi yang mengikutinya mendapatkan pahala dan yang tidak mengikutinya berarti tidak mngikuti sunnah rasul (tidak dapat pahala). Padahal seyogyanya tidak seperti itu. Menurut penulis bahwa tidak semua Sunnah Rasul mewakili suatu keputusan hukum. Bisa jadi karena adat pada zaman itu atau kebiasaan yang biasa dilakukannnya, salah satu contoh tentang pemakaian Surban.




Pembahasan

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (رواه مسلم)
Dari Ja'far bin Umaar bin Huraits dari bapaknya bahwasanya Rosulullah SAW berkhutbah dan di atasnya mengenakan surban berwarna hitam (H.R. Muslim)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahwa pada waktu berpidato (khutbah), Nabi Saw juga memakai surban. Kesahihan hadis yang menerangkan bahwa Nabi Saw memakai surban secara umum tidak di persoalkan lagi.
Menurut para Ulama, hadis-hadis itu menunjukan bahwa memasuki makkah tanpa memakai pakaian ihram hukumnya boleh. Begitu juga memakai surban hitam hukumnya boleh,
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (رواه الترمذى)
Dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata: Nabi SAW memasuki kota Makkah pada hari fathu Makkah dan beliau di atasnya mengenakan surban berwarna hitam (H.R. Tirmidzi)
Baik ketika berkhutbah maupun di luar khutbah. Bahkan berpakaian berwarna hitam sekalipun juga boleh. Hanya saja, pakaian warna putih tetap afdhal karena ada hadis shahih yang menyebutkan demikian masih banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang memakai surban di antaranya yang penulis tulis adalah:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ (رواه الترمذى)

Dari Ibnu Umar berkata: ketika itu nabi Saw, jika memakai surban Ia menguraikan surbannya di antara dua pundaknya (H.R. Tirmidzi)

عَنْ جَابِرِ قاَلَ دَخَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفَتْحِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (رواه النسائى)

Dari Jabir bin Abdillah sesungguhnya Rasulullah SAW telah memasuki kota Makkah pada waktu fathu Makkah dan di atasnya mengenakan surban berwarna hitam (H.R. An Nasa'i)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ (رواه ابو داود)

Dari Anas bin Malik ia berkata: saya telah melihat Rasulullah SAW sedang berwudlu ia memakai surban Qatar Ia memasukan tangannya dibawah surban serta mendahulukan membasuh kepalanya dan tidak ketinggalan surbannya (H.R. Abu Daud)

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِمَامَةً حَرْقَانِيَّةً (رواه النسائي)

Dari Ja'far bin Amri bin huraus dari bapaknya ia berkata: saya telah melihat Rosulullah SAW mengenakan surban harqaniyyah ( H.R.an- Nasa'i)

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ (ابن ماجه)

Dari Ja'far bin Amri bin huraus dari bapaknya ia berkata: saya telah melihat Rosulullah SAW berkhutbah di atas mimbar di atasnya beliau mengenakan surban berwarna hitam (H.R. Ibnu Majah)

عن اسامة بن عمير قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتموا تزدادوا حلما (رواه الطبرانى)

Dari Usamah bin Amir berkata: Rasulullah saw bersabda: bersurbanlah niscaya kamu akan menambah kebijaksanaan (H.R. At Tabrani)

عن اسامة بن عمير قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اعتموا تزدادوا حلما والعمائم تيجان العرب (رواه البيهقي)

Dari Usamah bin Amir berkata: Rasulullah saw bersabda: bersurbanlah niscaya kamu akan menambah kebijaksanaan dan surban itu adalah mahkota Arab (H.R. Al Baihaqi)
Berbicara masalah surban yang orang dalam pemakaiannya mengacu pada Nabi Saw, berarti kita tidak lepas bicara masalah hukum pemakaiaannya, yang mana hal ini telah berkembang di masyarakat. Yang menjadi permasalahannya adalah,
a. Apakah memakai surban merupakan suatu sunnah (aturan) Nabi Saw yang harus diikuti oleh semua umat Islam?
b. Atau mereka boleh memakai pakaian lain meskipun bukan surban, asalkan hal itu memenuhi ketentutan-ketentuan dalam berbusana secara Islami?
Dalam menyikapi hal di atas terdapat dua pemahaman, yaitu pemahaman secara tekstual dan kontekstual.
Bagi yang berfikir secara tekstual, apa yang berasal dari Nabi Saw harus diikuti. Artinya apabila Nabi memakai surban, maka ia juga harus memakai surban. Apabila ia tidak memakai surban, maka berarti ia (tidak mengikuti sunnah) aturan dan tatacara Nabi Saw.
Sedangkan yang berfikir secara kontekstual, mereka berpendapat bahwa surban itu pakaian dan budaya orang arab. Sementara pesan moral dibalik pemakaian surban yang dipakai Nabi Saw adalah kita diwajibkan memakai pakaian yang menutup aurat dengan syarat-syarat tertentu untuk itu, ditambah dengan pakaian tambahan sebagai hiasan kehormatan. Dan pakaian yang memenuhi kriteria ini tidak selamanya berbentuk surban. Ia cenderung berpariasi sesuai dengan adat dan budaya setempat. Maka peci atau kopiahpun sudah sesuai dengan pesan moral Nabi Saw dalam berpakaian, karena kopiah merupakan pakaian kehormatan untuk konteks daerah tertentu.
Namun di sini harus ada penegasan tentang pendapat bahwa sorban adalah pakaian dan budaya orang arab, masalahnya bila surban itu merupakaan pakaian dan budaya orang arab, khususnya orang arab pada masa Nabi Saw, tentunya orang-orang musyrikin arab juga berpakaian seperti itu.
Disamping itu ada hadis-hadis shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Saw mengajari para sahabat tentang cara-cara memakai surban sesuai petunjuk beliau. Misalnya, ketika Nabi Saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk berdakwah ke haibar, beliau memakaikan surban hitam di kepala Ali dan mengucirkannya ke belakang.
Dalam pemakaian surban pada masa sekarang ini terjadi inflasi. Di satu sisi para tokoh ulama sudah tidak mau lagi memakai surbanm di sisi laqin banyak orang yang dinilai belum berhak memakai surban, mereka ramai-ramai memakainya. Lebih-lebih apabila bulan Ramadhan tiba, para penyanyi, para badut, para penari, para pejoget, para penabuh gendang, para pemusik, dan lain sebagainya, semuanya ramai-ramai membungkus kepalanya dengan surban ketika mereka beraksi di depan penonton.
Tampaknya mereka ingin mengikuti sunnah Nabi Saw dalam memakai surban, atau hanya sebatas mode untuk menyesuaikan diri pada bulan ramadhan. Apabila memakai surban itu dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Saw, seyogyanya mengikuti sunnah itu tidak sepotong-potong. Memakai surban seyogyanya diikuti pula oleh sunnah-sunnah yang lain, misalnya berprilaku arif dan sebagainya.
Hendaknya tidak ada orang memakai surban, tetapi perilakunya tetap seperti preman dan bajingan. Betapa tidak, belakangan ini memang ada orang orang bersurban, jenggotnya panjang dan lebat, tetapi mereka membawa pentungan, memecah-mecah dan menghancurkan kaca-kaca dan sebagainya, hal ini bukan hanya menambah inflasi pemakaian surban, tetapi justeru memprihatinkan.
Dari beberapa penjelasan di atas penulis ambil kesimpulan dan berpendapat bahwa tdak ada perintah khusus dari Rosulullah tentang diharuskan memakai surban apalagi pernyataan bahwa memakai surban ketika sholat pahalanya sama dengan beramal kebajikan sepuluh ribu kali. sekalipun ada yang mengklaim tentang pemakaian surban adalah mengikuti sunnah rasul. Pada waktu itu orang musyrik juga mengenakan surban, jadi surban di sini sebagai adat atau kebiasaan pada waktu itu baik dilihat lingkungannya ataupun tradisi masyarakatnya. Kecuali dalam pemakaian surban tersebut untuk menghindari dari terurainya rambut kedahi ketika seseorang melakukan salat, maka pemakaian surban di sini merupakan sunnah (mendapat pahala). Dan itupun tidak mesti dengan menggunakan surban, pecipun boleh bahkan blangkon sekalipun, karena di samping adat juga melihat dari illat dalam pemakaian surban atau peci atau juga blangkon tersebut. Dan perlu diingat bahwa segala ungkapan Rasul tidak semuannya merupakan suatu perintah yang harus diikuti oleh ummatnya, dengan alasan bahwa perkataan Rasul atau amalan Rasul tidak semuanya dimaksudkan untuk menentukan sebagai ketetapan hukum. Seperti sebagian ulama fiqih katakan: Perbuatan Nabi Saw yang dilakukan sebagai kebiasaan yang biasa beliau lakukan, atau dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin Negara atau qadhi, dan bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah
Karenanya, bagi mereka yang tidak memakai surban, silakan mereka memakai, busana tradisional mereka asalkan hal itu memenuhi kriteria tutup aurat dan busana islami. Dan bagi mereka yang suka memakai surban, juga silakan saja mereka memakainya asalkan juga dibarengi dengan perilaku yang islami. Dan dengan catatan itu tadi, tidak punya anggapan bahwa kalau mereka pada waktu shalat akan memperoleh pahala sepuluh ribu kali lipat atau yang seperti itu, karena hadis-hadis untuk hal ini hadisnya palsu.









REFERENSI

Prof. KH. Ali Mustafa Ya'cub, Hadis-hadis bermasalah. Pustaka firdaus, Jakarta. 2003.
DR. Yususf Qaradhawi, Al-QUR'AN dan AS-SUNNAH, referensi tertinggi ummat Islam. Robbani Press, Jakarta 1997
Abu Dawud Sualiman bin al Asy'ats as sajistaniy, Sunan Abi Dawud, jilid I. Dar al Fikr Bairut Libanon. 1994
DR. Ibrahim Anas dan Teman-temannya, al-Jami' as Saghir, cet I, Bairut Libanon, 2002
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah. Al Jami as Shahih- Sunan at Tirmidzi, jilid II, Dar al Fikr. Bairut Libanon 1988
Syarh al hafidz Jalaluddin as Susyuthi dan hasyiyatu al imam as sanadi, Sunan an Nasa'I, jilid IV, Dar al Fikr, Bairut Libanon, 1348
Al Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al Quzaini, Sunan ibnu Majah jilid II, Dar al Fikr Bairut Libanon, tt.







Surban Dalam Sunnah Rasulullah Saw
(Kajian Hadis Tematik)









Oleh:
Jamaludin







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH (STAIDA)
JAKARTA
2007-2008
kesimpulan dari beberapa pernyataan dan hadis-hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak semua sunnah Rasul mewakili suatu keputusan hukum. Bisa jadi karena adat pada zaman itu atau kebiasaan yang biasa dilakukannnya. Dan perlu diingat bahwa segala ungkapan Rasul tidak semuannya merupakan suatu perintah yang harus diikuti oleh ummatnya, dengan alasan bahwa perkataan Rasul atau amalan Rasul tidak semuanya dimaksudkan untuk menentukan sebagai ketetapan hukum. Seperti sebagian ulama fiqih katakan: Perbuatan Nabi Saw yang dilakukan sebagai kebiasaan yang biasa beliau lakukan, atau dilakukan oleh beliau dalam posisinya sebagai pemimpin Negara atau qadhi, dan bukan sebagai mufti dan penyampai pesan dari Allah (demikian Yusuf Qaradlawi mengatakan dalam bukumya, "al-qur'an dan as-sunnah, referensi tertinggi ummat Islam". Jadi dalam hal ini memakai surban atau tidak memakai surban dalam shalat bukan suatu keputusan hukum yang bagi memakainya akan mendapatkan pahala dan bagi yang tidak memakainya tidak mendapatkan pahala. Karena hal tersebut merupakan adat (kebiasaan pada zamannya) Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar